CILEGONSATU.ID – Sejarah kebudayaan Indonesia pada era 1950-an hingga pertengahan 1960-an menyimpan satu bab penting tentang benturan dua pandangan besar mengenai hakikat seni dan peran kebudayaan dalam masyarakat.
Manikebu VS Lekra
Di satu sisi, terdapat Manifesto Kebudayaan (sering disingkat Manikebu), yang mengusung kebebasan ekspresi dan kemerdekaan seniman dari ideologi politik. Di sisi lain, berdiri Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang secara terang-terangan mengintegrasikan seni sebagai bagian dari perjuangan kelas dan politik kiri.
Perbedaan keduanya tidak sekadar estetis, tetapi juga ideologis dan filosofis.
Manikebu lahir pada tahun 1963 sebagai reaksi atas tekanan politik dan kultural yang saat itu sangat dipengaruhi oleh kekuatan kiri, khususnya Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Lekra. Tokoh-tokoh seperti HB Jassin, Trisno Sumardjo, dan Taufiq Ismail menyuarakan keprihatinan atas upaya penyeragaman dalam berkesenian dan penekanan terhadap seniman yang tidak sejalan dengan ideologi dominan.
Bagi Manikebu, seni haruslah merdeka, lahir dari nurani seniman, bukan dari kepentingan partai. Sebaliknya, Lekra sejak berdiri pada tahun 1950 telah menjadikan seni sebagai alat revolusi. Dengan slogan “politik adalah panglima”, Lekra menempatkan karya seni dalam kerangka perjuangan rakyat dan ideologi Marxisme-Leninisme.
Para seniman dituntut untuk berpihak secara eksplisit kepada kaum tertindas, dan karya-karya mereka harus mencerminkan semangat kolektivitas, perjuangan kelas, dan harapan revolusioner. Seni yang tidak berkontribusi pada kesadaran politik massa dianggap reaksioner atau borjuis. Pertarungan ini tak terelakkan menimbulkan polarisasi yang tajam.
Lekra menuduh Manikebu sebagai representasi dari “seni salon” dan kaum intelektual borjuis yang tak berpihak kepada rakyat. Sebaliknya, Manikebu menilai Lekra telah memanipulasi seni untuk kepentingan politik sempit dan membungkam suara-suara berbeda.
Puncak Ketegangan
Puncak ketegangan ini terjadi sebelum dan sesudah peristiwa G30S/PKI tahun 1965, ketika banyak seniman Lekra ditangkap, dibungkam, atau dibunuh, sementara Manikebu bertahan dalam iklim politik baru yang antikomunis. Meski keduanya tidak lagi eksis sebagai gerakan formal, warisan debat mereka masih terasa hingga kini.
Pertanyaan tentang apakah seni harus netral atau berpihak, apakah seniman harus bebas atau tunduk pada kepentingan sosial-politik, terus menjadi diskursus penting di ranah kebudayaan Indonesia. Manifesto Kebudayaan dan Lekra telah mewakili dua ekstrem: kebebasan ekspresi individu versus keberpihakan ideologis kolektif.
Di antara keduanya, terbentang ruang luas yang masih terus dijelajahi oleh seniman dan budayawan hari ini. Sejarah telah mencatat bahwa seni tak pernah benar-benar steril dari konteks zamannya.
Namun, yang paling penting adalah bagaimana perbedaan pandangan tidak dibungkam, melainkan dirayakan sebagai bagian dari dinamika intelektual dan kebudayaan bangsa.
Berikut penjelasan singkat dan perbandingannya:
1. Manifesto Kebudayaan (Manikebu)
• Dideklarasikan: 1963
• Tokoh-tokoh utama: HB Jassin, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, Trisno Sumardjo, dsb.
• Pandangan utama:
– Kebudayaan bersifat otonom dan bebas dari tekanan ideologi politik.
– Menekankan kebebasan berekspresi, humanisme, dan pluralisme dalam berkesenian.
– Menolak subordinasi seni pada politik.
– Berkarya demi nilai estetika dan kemanusiaan.
• Motivasi: Menanggapi tekanan dan dominasi kebudayaan berhaluan politik kiri.
2. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
• Didirikan: 1950
• Berafiliasi dengan: PKI (Partai Komunis Indonesia)
• Slogan utama: Seni untuk rakyat
• Pandangan utama:
– Seni adalah alat perjuangan kelas dan harus berpihak pada rakyat tertindas.
– Menganut prinsip realisme sosialis—seni harus menggambarkan perjuangan rakyat dan mendidik massa.
– Anti individualisme dalam seni.
– Melawan apa yang mereka anggap sebagai “seni borjuis” atau “seni salon”.
Konflik & Akibatnya
• Terjadi perseteruan tajam antara kelompok Manikebu dan Lekra.
• Lekra mengecam Manikebu sebagai borjuis dan kontra-revolusioner.
• Setelah 1965 (peristiwa G30S/PKI), Manikebu bertahan, sementara Lekra dibubarkan seiring dengan runtuhnya PKI.
• Banyak seniman Lekra ditangkap atau dilarang berkarya.
Kesimpulan
Pertentangan ini mencerminkan konflik antara kebebasan individu vs keberpihakan ideologis, estetika murni vs seni sebagai alat perjuangan, dan seni untuk seni vs seni untuk rakyat yang masih relevan dalam diskursus kebudayaan hingga kini. (Red)
Penulis : Baehaqi
Editor : Redaksi