CILEGONSATU.ID – Di balik kilau gedung pencakar langit dan sorotan lampu metropolitan, ada kehidupan yang tak tampak di permukaan kota.
Ratusan ribu orang tinggal dalam lorong-lorong bawah tanah sempit, tersembunyi di balik beton dan selasar kota.
Hidup di Ruang Bawah Tanah Era Mao Zedong
Mereka dijuluki “shuzu” atau “manusia tikus”, bukan karena kebiasaan, tetapi karena ruang hidup mereka menyerupai liang, gelap, pengap, dan tak layak huni.
Zhao Wei, 29 tahun, berasal dari Provinsi Henan. Ia datang ke Beijing sepuluh tahun lalu untuk bekerja sebagai pengantar paket.
Dengan penghasilan bulanan sekitar 3.000 yuan (setara Rp6,5 juta), ia tak sanggup menyewa apartemen. Maka ruang bawah tanah berukuran 5 meter persegi menjadi satu-satunya pilihan.
“Di sini gelap, tak ada jendela, dan air sering merembes dari dinding. Tapi murah dan dekat tempat kerja,” katanya.
Fenomena ini bermula dari pemanfaatan bunker anti-bom era Mao Zedong. Ribuan ruang bawah tanah dibangun pada dekade 1960-an sebagai bagian dari kesiapsiagaan militer.
Saat ancaman perang memudar, bunker-bunker itu disewakan oleh pengelola properti atau dijadikan pemukiman darurat oleh migran kota yang tak punya akses ke perumahan formal.
Menurut data tidak resmi, sebelum kampanye penertiban 2017, diperkirakan lebih dari 1 juta orang tinggal di bawah tanah di kota-kota seperti Beijing, Guangzhou, dan Shanghai.
Pengusiran Massal Oleh Pemerintahan Cina
Namun semuanya berubah saat tragedi kebakaran terjadi pada November 2017 di Distrik Daxing, Beijing. Satu bangunan bawah tanah terbakar dan menewaskan 19 orang, termasuk anak-anak.
Sejak itu, pemerintah kota mengeluarkan perintah pengosongan besar-besaran. Alasan resmi: demi keselamatan publik.
Tapi bagi banyak korban kebijakan ini, langkah itu seperti pengusiran massal.
“Saya hanya diberi waktu tiga hari untuk pergi,” kenang Zhang Hui, pekerja restoran. “Tak ada bantuan, tak ada relokasi. Kami hanya disuruh menghilang.”
Fenomena manusia tikus mencerminkan sisi lain dari modernisasi Cina: ketimpangan ekonomi, rigiditas sistem kependudukan (hukou), dan penataan kota yang tak inklusif.
Sistem hukou membuat pendatang dari desa tak bisa mendapatkan akses ke layanan publik kota, termasuk rumah murah, pendidikan, dan asuransi kesehatan.
Pemerintah pusat Cina berusaha menanggapi masalah ini dengan program perumahan murah dan reformasi terbatas sistem hukou.
Namun di lapangan, solusi belum menyentuh mereka yang paling rentan.
Sementara itu, Zhao Wei dan ribuan lainnya masih hidup dalam bayang-bayang. Mereka menghidupi kota, tetapi tak pernah benar-benar menjadi bagiannya. (Red)