Ada sebuah rahasia yang tak pernah selesai diurai manusia. Rahasia tentang berkat dan iblis, tentang kata yang terdengar sama namun berakar berbeda.
“Bless you,” kata orang ketika kau bersin, seolah Tuhan sedang menitipkan doa lewat suara kecil dari paru-parumu. Tapi siapa sangka, di balik kata bless, bersembunyi gema lain, blis potongan dari kata iblis.
Ironi linguistik yang lembut sekaligus menggigit.
Antara “Tuhan memberkatimu” dan “setan menertawaimu,” hanya selisih satu huruf, satu niat, satu getar hati.
Mungkin di situlah permainan terbesar semesta, bahwa rahmat dan godaan sering datang dengan bentuk yang mirip.
Yang satu memelukmu dengan kasih, yang lain membelai dengan alasan.
Yang satu memberi terang, yang lain meniru terang agar kau silau.
Kita hidup di ruang abu-abu itu, ruang antara God Bless dan God Blis.
Kadang kita ucapkan “Tuhan memberkati,” tapi di dalam hati menyimpan dengki kecil yang tak terlihat.
Kadang kita berkata “aku mendoakanmu,” padahal doa itu bersayap tajam, ingin menusuk balik.
Dan tanpa sadar, iblis kecil itu duduk di tengah percakapan, ikut mengangguk, tersenyum, bahkan mengucap “amin.”
“Jangan ada iblis di antara kita.”
Kalimat itu seharusnya bukan sekadar doa, melainkan kewaspadaan.
Sebab iblis tak selalu datang bertanduk, ia bisa berupa ego, ambisi, rasa benar sendiri, atau cinta yang tak lagi tulus tapi ingin menguasai.
Tuhan tak pernah jauh. Tapi kita sering menyingkirkan-Nya dengan alasan yang sopan. Kesibukan, urusan, atau rasa ingin diakui.
Dan saat itu terjadi, bless berubah menjadi blis, berkah yang kehilangan roh, doa yang kehilangan arah.
Maka, ketika seseorang berkata “God Bless You”, dengarlah dengan hati yang jernih.
Ucapkan terima kasih, tapi juga bisikkan balasan dalam diam.
“Semoga tak ada iblis di antara kita.”
Karena rahasia sejati dari berkat bukan terletak pada kata yang diucap, melainkan pada hati yang tetap bersih saat mengucapkannya.
Baehaqi Rizal
Cilegon, 4 November 2025


Tinggalkan Balasan